Oleh : Eko Sulistyo
Konflik Rusia-Ukraina berjalan begitu cepat. Rusia benar-benar menggunakan “Great Power Politics” untuk menyerang Ukraina setelah Presiden Vladimir Putin menyetujui “operasi militer khusus” di Timur negara itu saat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan pertemuan darurat minggu ini. Aljazeera, Kamis (24/2/2022).
Dunia dan masyarakat international kini hanya bisa mengutuk dan mengecam. Sebaliknya, “serangan dalam skala penuh” menggunakan drone yang menargetkan bandara dan gedung-gedung utama di pusat kota Ukraina, terus terjadi. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, telah mengumumkan situasi darurat militer dan akan melawan agresi Rusia sampai menang. Sementara Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, belum mengeluarkan sanksi apapun kepada Rusia, kecuali mengutuk serangan itu tidak dibenarkan atas nama kemanusiaan.
Putin memiliki alasan, tujuan dari operasi ini adalah untuk melindungi orang-orang yang selama delapan tahun telah menderita “genosida” rezim Ukraina. Tindakan ini diklaim dibenarkan berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB, yang memungkinkan individu atau kolektif mempertahankan diri dalam menghadapi serangan bersenjata terhadap negara anggota PBB. Putin juga menuntut pasukan Ukraina meletakkan senjata, dan melarang keanggotaan Ukraina dalam NATO.
Dari aspek geopolitik dan geostrategis, Putin tampak percaya diri dengan kekuatannya. Dengan lumbung minyak dan gas alamnya, serta hubungan baik dengan China, yang sama-sama memegang hak Veto di Dewan Keamanan PBB, Rusia merasa akan jauh dari sanksi AS dan negara-negara Barat. Kalau toh sanksi dijatuhkan, resiko geopolitiknya dianggap kecil untuk menanamkan kembali pengaruh atas Ukraina.
Minyak dan Gas Alam
Rusia selama ini dikenal sebagai negara nomer tiga penghasil minyak di dunia, dengan produksi 10.825.000 barel per hari. Menurut laporan “BP Statistical Review of World Energy” (2021), Rusia juga memiliki cadangan gas alam sebesar 37,4 triliun meter kubik atau setara dengan 19,9% dari total di dunia. Cadangan gas alam dunia mencapai 188,1 triliun meter kubik pada 2020.
Rusia mengekspor lebih lebih 35 persen produksinya, dan sekitar 70 persen dikirimkan ke Eropa melalui pipa, yang sebagian besar melewati Ukraina melalui tiga arteri utama. Yang terbesar adalah Nord Stream 1, dengan kapasitas 55 miliar kubik per tahun. Sementara proyek pipa gas Nord Stream 2 senilai US $ 10 miliar, yang akan mentransfer gas alam Rusia ke Jerman, telah selesai pembangunannya pada 2021, meski belum beroperasi.
Lebih dari setengah gas alam Jerman telah dipasok oleh Rusia. Selain itu Rusia juga memasok lebih dari setengah impor batubara Jerman. Karena itu, sikap dan komitmen Jerman dalam konflik Rusia-Ukraina ini tidak begitu kentara. Meski Presiden AS, Joe Biden, telah berjanji untuk menutup proyek pipa jika invasi terjadi karena dianggap hanya memperluas pengaruh Rusia di kawasan Eropa.
Dunia menunggu janji Binden dan negara-negara Barat untuk menjatuhkan sanksi hukuman kepada Rusia. Termasuk pengiriman tentara yang akan melindungi wilayah Eropa dan negara-negara bekas Uni Soviet yang kini mrnjadi anggota NATO. Karena di satu pihak, Putin juga telah menegaskan untuk menghadapi setiap negara manapun yang turut campur dalam konflik ini.
Artinya, jika ada negara lain, apakah itu AS atau NATO, yang melibatkan diri dalam kancah konflik secara langsung, berpotensi menyeret kekuatan lain membantu Rusia. Dalam mengantisipasi sanksi AS dan sekutunya, Rusia telah mengalihkan sebagian pasokan minyak dan gas alamnya ke China yang membutuhkan.
Secara gelagat politik, China selama ini telah menunjukkan sikap lebih bersahabat dengan Rusia. Dalam pertemuan para Menteri Keuangan Kelompok Negara 20 atau G-20 di Jakarta, beberapa waktu lalu, China telah membatu Rusia menekan keluarnya komunike yang akan menghukum Rusia soal ketegangan di Ukraina. Selain kerjasama ekonomi, China memiliki kepentingan geopolitik yang membutuhkan bantuan Rusia di wilayah Indo Pasifik yang juga bisa memanas setiap saat.
Dengan konfigurasi semacam itu, peluang terjadinya perang lebih besar bisa terjadi jika ada negara lain ikut campur tangan dalam invasi Rusia ini. Jangan lupa, dari dua kali perang dunia, diawali dari wilayah Eropa, dan melibatkan sebagian besar negara-negara di Eropa.
Krisis Energi
Lantas, apakah penyelesaian konflik Rusia-Ukraina ini akan berakhir seperti dua skenario sebelumnya, saat Rusia menginvasi Georgia (2008) dan Kremia (2014). Dalam kasus Georgia, wilayah Ossetia Selatan dan Abkhazia akhirnya memisahkan diri dari Georgia. Kedua wilayah itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.
Sementara Krimea yang terletak di kawasan Laut Hitam, selama 1921-1945 adalah milik Uni Soviet, yang kemudian dikuasi Ukraina. Letak geopolitiknya yang strategis, ingin dimanfaatkan Rusia untuk memperkuat pengaruhnya, khususnya di kawasan Eropa Timur dan Timur Tengah. Krimea adalah pusat sentimen pro-Rusia yang yang memilih bergabung dengan Rusia dan memisahkan diri dari Ukraina pada 16 Maret 2014.
Selain dua skenario ini, dalam konflik terbuka semacam ini akan timbul masalah pengungsi, kekurangan pangan, dan lonjakan harga minyak dan gas alam di pasar global. Sejarah menunjukkan, setiap kali ada konflik geopolitik, pasar keuangan paling bereaksi ketika harga energi melonjak dan The Fed akan memperketat kebijakan moneternya.
Pelajaran sejarah ini bisa dipelajari dari dua lonjakan minyak dunia. Pertama, ketika Organisasi Pengekspor Minyak Dunia (OPEC) melakukan embargo minyak terhadap AS (1973) selama konflik Arab-Israel. Kedua, ketika Shah Iran digulingkan dan produksi minyak Iran jatuh dari 5,2 juta barel per hari (mbd) menjadi hanya 1,4 mbd pada 1980, menghilangkan 6 persen dari produksi dunia.
Sebagai perbandingan, kenaikan harga minyak berikutnya pada 1990 dan 2003, terkait konflik AS dan Irak yang memiliki efek kurang kuat pada ekonomi dan pasar. Salah satu faktornya adalah kekurangan pasokan minyak tidak sebesar dua guncangan pertama, dan kenaikan harga lebih kecil dalam persentase. Juga, Federal Reserve menahan diri dari pengetatan kebijakan moneter karena inflasi terkendali (Nicholas Sargen, 2022).
Dalam jangka pendek, perang Rusia-Ukraina ini akan memicu kenaikan harga minyak dan gas secara besar-besaran, terutama di Eropa. Para analis energi global juga memprediksi, konflik Rusia-Ukraina akan mendorong harga minyak naik dari level yang sudah mendekati US $ 100 per barel menjadi US $ 125, dengan harga gas mengikuti lebih tinggi (Bloomberg, 19/1/2022). Harga ini bisa naik lebih tinggi jika pasokan dari Rusia terganggu.
Kini “butterfly effect” telah mengirimkan harga komoditas melonjak lebih tinggi akibat kesulitan pasokan yang mengakibatkan kekurangan pangan dan krisis energi akibat invasi.
——————-
Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).